Menurut
wikipedia: Diksi,
dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh
penulis atau pembicara. Arti kedua, arti “diksi” yang lebih umum digambarkan
dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat
didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti
kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.
Menurut
KBBI, DIKSI
berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk
mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang
diharapkan)
Diksi
Dalam Puisi
Sebenarnya
diksi tidak hanya dipakai dalam menulis puisi. Dalam menulis cerpen, novel,
essai, artikel, sampai karya ilmiah sekalipun, diksi juga diperlukan. Tapi
baiklah kita membicarakan diksi dalam puisi saja kali ini (sesuai dengan topik
yang sedang menghangat di kompasiana saat ini).
Saya
sendiri senang menulis puisi dan menyadari salah satu unsur penting dalam
menulis puisi adalah pemilihan diksi. Karena puisi adalah bentuk karya tulis
yang tidak memakai banyak kata-kata, cendurung tidak deskriptif dan naratif,
maka pemilihan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud dan nuansa
tulisan haruslah dicermati dengan seksama. Termasuk di dalamnya menghindari
pengulangan kata yang sama terlampau sering, pemilihan sinonim yang mewakili,
sampai ke penggunaan tanda baca dan susunan bahasa. Misalnya ketika kita ingin
mengungkapkan rasa kesepian, kata mana yang akan kita pilih; sunyi, diam,
nelangsa, sendiri, sedih, sepi, senyap atau hening? Meski berkonotasi sama,
tiap kata yang terpilih akan memberi warna yang berbeda apabila disandingkan
dengan kata-kata lainnya dalam keseluruhan puisi.
Bagaimana
cara memilih diksi yang tepat? Dengan banyak membaca, baik itu puisi, artikel,
novel, surat
kabar sampai ke tulisan kritikan sekalipun. Sebab membaca akan memperbanyak
kosa-kata. Dengan mengetahui banyak kosa -kata, penulis puisi akan
mempunyai pilihan yang lebih beragam dan memberikan warna dan jiwa tersendiri
bagi puisinya.
Sekali lagi, diksi adalah pilihan kata, yang merupakan satu kesatuan dari keutuhan puisi. Jadi bukan berarti memakai kata-kata yang artinya baru diketahui setelah memeriksa KBBI, lantas puisi tersebut baru dianggap keren dan mengandung nilai sastra. Penyair-penyair besar Indonesia banyak menggunakan diksi yang sederhana dan gampang dimengerti, tapi puisi yang dihasilkannya sungguh indah. Kita ambil contoh puisi karya Sapardi Djoko Damono:
Perahu
Kertas
Waktu masih
kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya
Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah
di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang
dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun
menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu
itu.
Akhirnya kau
dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan
perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
(Perahu Kertas
- Kumpulan Sajak, 1982)
Untuk
menghasilkan puisi yang bagus, selain diksi, kemahiran menggunakan imaji
kata-kata, bahasa figuratif (majas) dan rima adalah unsur-unsur dalam penulisan
puisi yang tidak boleh luput diperhatikan. Tapi apakah dengan menguasai semua
teori-teori tersebut, maka maha karya puisi akan berhasil dihadirkan? Banyak
penyair-penyair yang justru membebaskan diri dari semua ikatan teori, menjelajah
imajinasi kata-kata seliar-liarnya, dan jadilah puisi yang luar biasa.
Seperti puisi karya Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
Sepisaupi
sepisau luka
sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa
sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa
sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(1973)
Lalu,
bagaimana dengan penulis-penulis puisi di Kompasiana ini? Dari sekian banyak
puisi atau tulisan yang ditag di kolom puisi di Kompasiana, memang
tidak semuanya bagus. Beberapa bahkan terbaca sebagai curhat. Tapi dengan
sering menulis puisi, proses pembelajaran akan terbentuk dengan sendirinya dan
pada akhirnya akan menghasilkan tulisan yang berkarakter. Saya perhatikan
justru sekarang ini semakin banyak Kompasioners yang puisinya semakin
cemerlang, seperti cahaya matahari pagi yang hangat dan menjanjikan. Ah,
bukankah memang tidak ada yang begitu mulai menulis langsung bisa menjadi
penyair yang hebat? Saya yakin Joko Punirbo, WS Rendra dan Alfrizal Malna
dulunya juga melewati proses pembelajaran sebelum bermetamorfosa menjadi
seperti sekarang.
Sebagai
contoh (lagi), saya postingkan dua puisi Kompasioners yang saya nilai bagus.
Sengaja saya pilih kedua penulis ini untuk mewakili, mengingat mereka berdua
sudah menghasilkan puisi berrmutu dalam usia yang relatif muda (status: masih
mahasiswa).
Sajak
Cinta Buat Nda - Pringadi Abdi
di palembang, nda. hanya di palembang,
burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara
dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti
burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara
dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti
aku datang
rindu ini begitu
akut, mengalahkan gagak-gagak
di tiang listrik yang khusyuk
menanti kematian
di tiang listrik yang khusyuk
menanti kematian
di palembang, nda, jembatan
ampera masih tegak
membelah sungai musi yang keruh;
cinta ini selalu penuh, meski terkadang angkuh
tetapi sungguh
tak ada kata-kata dari kesunyian
yang lebih indah dari kenangan perjalananku
denganmu
membelah sungai musi yang keruh;
cinta ini selalu penuh, meski terkadang angkuh
tetapi sungguh
tak ada kata-kata dari kesunyian
yang lebih indah dari kenangan perjalananku
denganmu
Kau
Gemakan Laguku Saat Jendela Terbuka - Andi Gunawan
:Yessa Putra
Noviansyah
Hari-hari merupa
hitam putih sesekali terselip abu. Umpama tembakau dalam kemasan petang,
kunikmati selingan kelabu yang menggelayuti mau sebelum datang merah.
Kau mengetuk pintu
dan kubiarkan masuk lewat jendela. Pintu terlalu lapang saat terbuka
-mengaburkan asap yang ingin kujaga baunya dalam kubusku.
Demi kelayakan
predikat, kubagi sesesap jujur padamu yang masuk lewat jendela berkarat.
Kepulannya merasuki celah yang rahasia, kenapa kau buka pintu?
Jadi
teringat pendapat seorang teman yang mengatakan bahwa puisi adalah bentuk seni
yang paling subjektif. Berbeda dengan lakon, tari atau lukisan, puisi tidak
dapat dinilai secara visual. Berhubung ia lebih banyak bermain di ranah rasa
dan emosi, tidak seperti cerpen atau novel yang dapat ditelusuri narasi, plot dan
karakter tokoh-tokohnya, maka penilaian terhadap bagus tidaknya sebuah puisi
cenderung menjadi ambigu. Menuruku, kedua puisi tulisan Pringadi Abdi dan Andi
Gunawan adalah contoh puisi yang bagus. Pemilihan diksi yang menarik: Hari-hari
merupa hitam putih sesekali terselip abu (Kau Gemakan Laguku Saat Jendela
Terbuka); kenapa abu, bukannya kelabu? Kupikir abu, selain mewakili warna, juga
merupa sebagai abu dari sisa pembakaran, yang ternyata tepat sekali disambung
dengan kalimat berikutnya: Umpama tembakau dalam kemasan petang. Atau
rima yang manis sekali di puisi Sajak Cinta Buat Nda: di palembang, nda. di palembang.// burung-burung
tidak lagi kepingin terbang, udara//dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti.
Kata-kata berakhiran ‘g’ dalam palembang,
burung, terbang dan tulang, terbaca ritmis meski tidak selalu disandingkan
menjadi kata terakhir di baris. Pengulangan kata di palembang,
di palembang,
adalah penekanan lokasi yang disambung dengan gambaran jembatan ampera di bait
terakhir yang berhasil membawa kita ke dalam perjalanan cinta nda dengan si
penyair.
Kalaupun
ada yang tidak sependapat dengan apresiasiku dalam menilai kedua puisi di atas,
silakan saja. Rasa memang tidak dapat dipaksa. Tapi kalau ada yang menilai
semua puisi di Kompasiana adalah karya sampah dan tidak ada yang bagus, ini
sama saja dengan orang buta yang memegang kaki seekor gajah lalu berasumsi
bahwa dia telah menjelajahi dan mengerti keseluruhan fisik dari gajah.
Terakhir,
saya percaya puisi yang ditulis dari hati yang jujur hasilnya akan jauh lebih
bagus daripada puisi yang hanya berkutat di seputaran diksi dan teori
kepenulisan saja. Puisi tersebut akan terlihat keren, tapi kosong. Jadi, wahai
penulis puisi, gunakan diksimu segila-gilanya, seliar-liarnya, dan menulislah
dari hati.
*****
Terima kasih,
Pringadi Abdi dan Andi Gunawan yang puisinya saya apresiasi tanpa ijin
Terima kasih,
puisi
Terima kasih,
semua penulis puisi di Kompasiana
9 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment