Saturday, May 7, 2011

Sepotong Bersin, Pagi Hari


Bersin itu seperti larik matahari pertama yang menyeruaki kaki-kaki langit, katamu. Sering tak tersembunyikan oleh awan-awan yang bergumpal melingkar-lingkar, serupa tangan kananmu yang tak sempat membekap bersin yang meloncat dari kedalaman dadamu, begitu lanjutmu. Dada yang menyamudera, tersebab darinya terdengar lagu ombak-ombak yang mirip semacam resital kupu-kupu.

Bersin di pagi hari adalah tanda tanya, kataku. Seperti rasa ingin tahu tentang kabarmu yang tak terbaca dari berita-berita di koran yang semakin ungu oleh luka yang terlampau dan rindu yang tersendat di sendu. Aku ingin memaknainya sebagai petanda, sekalipun yang paling semu. Tapi katamu, bersin di pagi hari adalah matahari pertama yang terlahir dari warna-warna kelabu. Ah, tak bisakah sekali ini saja berhenti memuisikan pagi dan baiklah kita berpura-pura saja bersin adalah isyarat untuk vitamin C, supaya jauh dari flu?

Tapi, tunggu.

Bersin bisa berarti angka tujuh. Waktu yang tergantung-gantung antara jeda sapa pagiku dan mu. Sebuah pelukan virtual dari dua avatar yang mengirimkan ruahan emoticon-emoticon. Tapi bukan bersin. Percayalah. Satu, dua, tiga sampai dengan tujuh. Bersin di pagi ini, kumantrai! Jadilah kalian kanak-kanak rindu yang di matanya berderet paragraf-paragraf yang membukukan hikayat panglima merahdan samudera biru..

Seperti sepotong pagi yang merona semangat dan biru puisi dalam bersin.

No comments:

Post a Comment